Dahon Roo Sumber foto: www.tokosepedanusantara.com |
Sebelum bersepeda, saya biasanya mengandalkan mobil pribadi sebagai alat transportasi. Kalau sedang tidak memungkinkan menggunakan mobil, saya menggunakan layanan ojek online atau angkot. Perubahan ini tentu membawa cerita tersendiri. Dari pengalaman saya yang belum seberapa ini, ada beberapa hal yang membuat bike commuting menjadi sangat berkesan untuk saya:
Pesepeda di Bandung Ada Banyak
Saya beberapa kali mencetuskan kalimat ini sejak kembali menetap di Bandung beberapa tahun yang lalu. Entah memang sudah begitu adanya sejak dulu atau saya yang baru menyadarinya, tapi hampir setiap pagi, saya pasti menemukan banyak orang yang seliweran dengan sepeda masing-masing.
Sebagian besar melakukannya dengan tujuan berolah raga dan memilih jalur yang cukup menantang (alias banyak tanjakan), namun beberapa orang memang menjadikan sepeda sebagai kendaraan sehari-hari. Saya juga beberapa kali memperhatikan fasilitas parkiran sepeda yang ada di dalam kampus ITB, dan hampir semuanya selalu terlihat dipenuhi sepeda.
Untuk saya yang baru mulai 'turun ke jalan' dengan sepeda, tentunya hal ini sangat membantu dan memudahkan. Karena sebagian besar pengguna jalan di Bandung sudah familiar dengan keberadaan pesepeda, maka tidak sulit bagi mereka untuk memberi ruang. Di beberapa ruas jalan bahkan sudah tersedia jalur khusus untuk pesepeda. Nah, berdasarkan pengalaman saya, jalanan dengan jalur khusus pesepeda ini adalah jalan yang paling menyenangkan untuk dilalui, meskipun beberapa di antaranya adalah jalan yang traffic-nya cukup padat.
Salah satu jalur favorit ketika bersepeda Sumber foto: www.infobdg.com |
Bandung Itu Kecil
Saya tinggal di daerah Cigadung dan sering berkendara ke daerah Antapani, Cicendo, dan Setrasari. Sejujurnya, sebelumnya saya tidak pernah membayangkan menuju ke wilayah-wilayah tersebut dengan mengendarai sepeda. Tapi setelah saya coba, ternyata ketiga wilayah itu dapat saya tempuh dalam waktu relatif singkat, alias tidak jauh lebih lama daripada dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Di atas kertas pun jarak dari rumah saya ke ketiga tempat tersebut tidak ada yang sampai dua digit. Paling jauh hanya sekitar 8 km. Bukan jarak yang terlalu melelahkan, tapi (untuk saya) cukup efektif untuk berolah raga.
Tantangan terberat--untuk saya--adalah tanjakan. Dan sialnya, karena rumah saya terletak di daerah 'atas', maka saya tidak punya pilihan lain selain untuk membiasakan diri menghadapinya. Di minggu pertama, saya mengikhlaskan turun dari sadel dan menuntun sepeda saya di tanjakan terakhir menuju rumah saya. Untungnya, setelah itu saya sudah bisa menghadapi tanjakan dengan tetap mengayuh pedal.
Bersepeda Membuat Lari dan Yoga Lebih Menyenangkan
Meskipun keduanya adalah olah raga kardio, bersepeda dan berlari adalah dua olah raga yang sangat berbeda. Berlari adalah olah raga yang high impact, sedangkan bersepeda--terutama dalam konteks commuting--adalah olah raga yang low impact. Selain itu, rata-rata detak jantung yang dihasilkan oleh kedua olah raga tersebut sangat jauh berbeda.
Karena intensitasnya yang lebih ringan, beberapa kali saya memanfaatkan bersepeda sebagai warming up sebelum berlari. Kebetulan saya memang orang yang lebih percaya pada dynamic warm up dibandingkan dengan static stretching sebagai pemanasan. Jadi, bersepeda terasa cukup menjawab kebutuhan saya sebelum berlari.
Yum! Sumber foto: www.sonyagenel.com |
Kondisi tubuh yang sudah cukup 'panas' setelah bersepeda pun membuat saya jauh lebih bisa menikmati yoga setelahnya. Sebagian besar gerakan dalam yoga yang berupa static stretching memang jadi jauh lebih mudah untuk dilakukan dengan kondisi otot yang sudah 'dilumasi'. Karena itu, melakukan forward bending atau twisting terasa jauh lebih nikmat setelah bersepeda.
Less Stressful Way to Deal with Traffic
Mengendarai sepeda memang tidak lantas menjamin saya terbebas dari jebakan betmen berupa kemacetan. Kadang, kalau jalanan sudah sangat penuh, bahkan sepeda pun sulit menemukan 'celah' untuk maju. Saya beberapa kali terjebak dalam kondisi jalan seperti ini.
Meskipun begitu, untuk saya, bersepeda mampu memberi kebahagiaan tersendiri. Di dalam mobil mungkin saya lebih leluasa mendengarkan radio dengan hembusan angin sejuk dari AC, tapi di atas sepeda saya dapat menghirup udara segar (meskipun seringkali sudah bercampur dengan aroma asap knalpot) dan yang utama: produktif menghasilkan endorfin. Endorfin inilah yang pada akhirnya membuat saya lebih bahagia--meskipun sedang terjebak macet.
Saya juga percaya bahwa tubuh manusia diciptakan untuk bergerak. Karena itu, setiap usaha untuk aktif bergerak pada dasarnya adalah usaha untuk menghormati kodrat tubuh. Bahkan beberapa orang berpendapat:
"If I keep my body moving, and my mind occupied at all times, I will avoid falling into a bottomless pit of despair."
Kalau ada yang bilang bersepeda adalah salah satu cara termudah untuk merasa lebih bahagia, mungkin saya akan mengiyakannya dengan nyaring. Ada keceriaan tersendiri yang saya rasakan setiap saya mengayuh pedal, meskipun saat menghadapi tanjakan, keceriaan ini sangat jauh menipis. Tentu saja, faktor keselamatan tetap harus diperhatikan. Saya sendiri masih takut bersepeda di malam hari dan selalu memastikan saya menggunakan helm ketika bersepeda.
Tapi, baik dalam rangka berolah raga, rekreasi, atau sebagai moda transportasi, menurut saya bersepeda di Bandung sangatlah menyenangkan.
Yuk, bersepeda di Bandung! :)
teh ita baik kok muter idolaku :*
ReplyDeleteMbak syn keren..sepedaan di bandung,dl suami sy waktu kami msh tinggal di sadang serang suka sepedaan..pas skrng pindah cihanjuang (cimahi ke atas)..nyerah ama medan yg banyak tanjakan hehehe...kl sy beraninya cuma keliling kompleks doank hehehe
ReplyDelete